Powered By Blogger

Sabtu, 13 Desember 2014

Makalah tentang Wasiat



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wasiat, merupakan instrumen penting dalam perancangan harta menurut undang-undang Islam. Wasiat ialah pemberian harta yang berlaku selepas kematian pewasiat.
      Instrumen  ini digalakkan dalam Islam, di mana sekiranya ia dilakukan dengan betul dan selaras dengan kehendak syarak maka ia boleh mengelakkan berlaku pertikaian dan perebutan harta. Melalui wasiat juga dapat membantu kaum kerabat yang memerlukan bantuan. Terdapat tanggapan bahwa dengan melakukan wasiat  maka dia telah menyalahi ketepatan hukum faraid. Tanggapan ini tidak tepat kerana kedua instrumen ini juga sebenarnya diberi fokus dan tempatnya yang tersendiri di dalam Islam. Makalah ini cukup mengupas isu-isu berkaitan dengan wasiat dari segi hukum dan aplikasinya di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat dan aplikasinya


C.    Tujuan Masalah
1.      Memahami apa yang dimaksud dengan wasiat  
2.      Mampu mengidentifikasi masalah wasiat 
3.      Mampu mengaplikasikan masalah wasiat di lingkungan masyarakat.

                                                                                                                                   

  
BAB II
PEMBAHASAN
1. WASIAT
1.1 Pengertian wasiat
Kata wasiatالوصية ) berasal dari kata “washshaitu (وصيت ) artinya: aushaltu (أوصلت) (aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144أم كنتم شهداء إذ وصاكم الله) ), memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14,  (ووصينا الإنسان بولديه) dan Maryam: 31 وأوصانى بالصلاة) , mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat 12 (وصية من الله). Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah wasiat ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya
.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 180)

Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan harta yang banyak.
Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik pemberi wasiat kepada yang menerima wasiat.
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.”
Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat.
Istilah-istilah wasiat dalam bahasa Arab
- Al-washi (الواصي) atau al-mushi (الموصي) = pemberi wasiat/pewasiat
- Al-Musho bihi (الموصى به) = perkara/benda yang dijadikan wasiat.
- Al-Musho lahu (الموصى له) = penerima wasiat (orang atau sesuatu)
- Al-mushu ilaih (الموصى إليه) = orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
- Wasiat (الوصية) = perilaku/transaksi wasiat

1.2  SYARAT-SYARAT WASIAT

Perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah Islam adalah sbb:

1. Syarat benda yang diwasiatkan
a)      Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
b)      Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
c)      Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
d)     Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
e)      Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

2.  Syarat Pewasiat / Pemberi Wasiat (Al-Washi)
     
a)      Akil baligh
b)       Berakal sehat
c)       Atas kemauan sendiri.
d)    Boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.

3. Syarat Penerima Wasiat (Al-Musho Lah الموصى له)

Penerima wasiat ada dua macam.
a) Wasiat umum seperti wasiat pembangunan masjid
b) Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/benda tertentu.

Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa (maksiat). Contoh, wasiat harta untuk pembangunan masjid boleh tetapi wasiat untuk membangun klab malam tidak boleh.

Untuk wasiat khusus maka syaratnya adalah sbb:

a)       Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)
b)    Penerima wasiat diketahui (jelas identitas oragnya).
c)      Dapat memiliki. 
d)    Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.
e)      Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat. Kalau menolak, maka wasiat batal.

Adapun Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai berikut :
1.      Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk diurusi; menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
2.      Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
3.      Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, berwasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan uangnya untuk disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat hiburan, atau ke kemaksiatan.
4.   Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat   tidak   sah, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.

Sedangkan syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi disebutkan sebagai berikut:
  1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
  2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
  3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan cara pembunuhan; dan
  4. bukan ahli waris pemberi wasiat.

1.3    RUKUN WASIAT

Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:

1)      redaksi wasiat (shighat),
2)      pemberi wasiat (mushiy),
3)      penerima wasiat (mushan lahu),
4)      barang yang diwasiatkan (mushan bihi).
5)      Kalimat wasiat (lafadz)

1. Redaksi Wasiat (shighat)

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan(qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

2. Pemberi Wasiat (mushiy)

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan. [4]
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional.

3. Penerima Wasiat (mushan lahu)

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah:
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

4. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi)

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.


5 .   Kalimat wasiat (lafadz)
           
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu meninggal.
Rasulullah Saw bersabda:
“ Dari Ibnu Abbas, berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda: wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali mendapat persetujuan dari semua ahli waris.

1.4    HUKUM WASIAT

Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahawa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib (lihat ayat 180 Surah al-Baqarah), namun hukum berkenaan telah dinasakhkan oleh ayat al-mawarith (ayat 11, 12, dan 176 Surah al-Nisa’). Walau bagaimanapun, amalan wasiat masih lagi digalakkan dengan had maksimum 1/3 harta pusaka dan ditujukan kepada bukan waris. Melaksanakan wasiat itu wajib dan berdosa bagi al-musho ilaih kalau tidak menyampaikan wasiat.

Sedangkan hukum wasiat bagi pewasiat (al-washi/al-mushi) ada 5 (empat) yaitu wajib, sunnah, makruh dan haram, boleh.

1. Wasiat wajib

Wajib apabila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.

2. Wasiat sunnah

Wasiat adalah Sunnah mu'akkad menurut ijma (kesepakatan) ulama. Walaupun bersedekah pada waktu hidup itu lebih utama. Dan apabila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam yang empat, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.

3. Wasiat makruh

Makruh apabila (i) orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Dan (ii) wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.

4. Wasiat haram


(a) Wasiat yang lebih dari 1/3 (sepertiga)
(b) Wasiat kepada ahli waris.
(c) Haram jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris  seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.

5. Wasiat mubah(boleh)

Wasiat hukumnya mubah apabila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat). Menurut Imam syafi'i mubahnya wasiat karena bukan transaksi ibadah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar