Powered By Blogger

Sabtu, 13 Desember 2014

Makalah tentang Hibah



2. HIBAH
2.1  PENGERTIAN HIBAH
Pengertian hibah menurut bahasa. Kata hibah adalah bentuk mashdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi terdapat dalam (QS. Ali Imran(3) :8, Maryam(19) :5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini merupakan mashdar dari kata wahaba yang berarti pemberian.
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Menurut istilah, pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya:
Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah sebagai: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela".
Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
Abd al-Rahman al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-­Arba ’ah, menghimpun empat pengertian hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
Pengertian hibah yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan mazhab Hambali:
Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.
Pengertian hibah dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, bahwa hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, bahwa pengertian hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.
Beberapa pengertian hibah tersebut, disimpulkan mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fikih (Imam Syafi'i, Maliki) sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunnah berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa, (4) : 4

2.2  SYARAT-SYARAT HIBAH

Syarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 :
1.  Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan
2.  Terpilih dan sungguh-sungguh
3.  Harta yang diperjualbelikan
4.  Tanpa adanya pengganti
5.  Orang yang sah memilikinya
6.  Sah menerimanya
7.  Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8.  Menyempurnakan pemberian
9.  Tidak disertai syarat waktu
10.  Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)
       11.  Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.
2.3  RUKUN HIBAH

Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :
1.  pemberi hibah (al-Wahib)
2.  penerima hibah (al-Mauhud lahu)
3.  barang atau harta yang dihibahkan (Mauhud)
4.  Ijab dan qabul 

1)   Pemberi hibah (al-Wahib)
Pemberi hibah hendaklah seorang yang berkeahlian seperti sempurna akal, baligh dan
rushd. Pemberi hibah mestilah tuan punya barang yang dihibahkan. Oleh kerana pemilik
harta mempunyai kuasa penuh ke atas hartanya, hibah boleh dibuat tanpa had kadar serta
kepada sesiapa yang disukainya termasuk kepada orang bukan Islam, asalkan maksudnya
tidak melanggar hukum syarak.


2)   Penerima hibah (al-Mauhub lahu)
Penerima hibah boleh terdiri daripada sesiapa sahaja asalkan dia mempunyai keupayaan
memiliki harta sama ada mukallaf atau bukan mukallaf. Sekiranya penerima hibah bukan
mukallaf seperti masih belum akil baligh atau kurang upaya, hibah boleh diberikan kepada
walinya atau pemegang amanah bagi pihaknya. Penerima hibah mestilah menerima harta
yang dihibahkan dan berkuasa memegangnya. Dengan kata lain, penguasaan dan kawalan
terhadap harta mestilah diberikan kepada penerima hibah.

3)    Barang atau harta yang dihibahkan (al-Mauhub)
 Barang atau harta yang hendak dihibahkan itu perlu memenuhi syarat-syarat berikut:
a.    Ia hendaklah barang atau harta yang halal.
b.    Ia hendaklah sejenis barang atau harta mempunyai nilai di sisi syarak.
c.    Barang atau harta itu milik pemberi hibah.
d.   Ia boleh diserah milikkan.
e.    Ia benar-benar wujud semasa dihibahkan. Contohnya, tidak sah hibah barang yang belum ada     seperti menghibahkan anak lembu yang masih dalam kandungan atau hibah hasil padi tahun hadapan sedangkan masih belum berbuah dan sebagainya.
f.      Harta itu tidak bersambung dengan harta pemberi hibah yang tidak boleh dipisahkan
seperti pokok-pokok, tanaman dan bangunan yang tidak termasuk tanah. Mengikut
mazhab Maliki, Syafie dan Hanbali, hibah terhadap harta yang berkongsi yang tidak
boleh dibahagikan adalah sah hukumnya. Dalam Islam, barang yang masih bercagar
(seperti rumah) boleh dihibahkan jika mendapat keizinan dari penggadai atau
peminjam.

4)   Sighah iaitu ijab dan kabul
Sighah hibah merupakan lafaz atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan
penerimaan hibah. Ia tertakluk kepada syarat-syarat berikut:
a.        Ada persambungan dan persamaan di antara ijab dan qabul.
b.      Tidak dikenakan syarat-syarat tertentu.
c.       Tidak disyaratkan dengan tempoh masa tertentu. Hibah yang disyaratkan dengan
tempoh tertentu seperti yang berlaku dalam al-‘umra dan al-ruqba adalah sah hukumnya tetapi syarat tersebut adalah terbatal. Di antara contoh lafaz ijab secara terang (sarih) ialah seperti kata pemberi “Aku berikan barang ini kepadamu” atau secara kinayah seperti kata pemberi “Aku telah menyerahkan hakmilik kepadamu” atau “Aku jadikan barang ini untukmu”. Sementara contoh lafaz qabul (penerimaan) pula ialah seperti “aku terima”, “aku redha” dan sebagainya.
Dalam undang-undang Islam, sesuatu hibah itu sudah sah dengan adanya ijab dan qabul
dengan perkataan atau apa-apa cara yang membawa erti memberi milik harta tanpa balasan
(‘iwad). Mengikut mazhab Maliki dan Syafi’i, penerimaan (qabul) itu hendaklah diambilkira
dalam menentukan sah atau tidaknya sesuatu hibah. Sebaliknya, golongan Hanafi
menganggap bahawa ijab sahaja sudah memadai untuk menentukan sahnya sesuatu hibah
itu.

2.4  MACAM-MACAM HIBAH
1)  Hibah barang
2)  Hibah manfaat           
Di antara hibah manfaat adalah hibah hibah bertempo (muajjalah), pinjaman (‘ariyyah), dan pemberian (minhah). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri hibah seumur hidup (umri), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata “barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.

Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadist yang berbeda dan pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal ini, ada dua hal:
Pertama, hadist yang disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :
Siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan Nasai)

Ketentuan tegas ini karena orang tersebut memberi suatu pemberian kepada seseorang sekaligus kepada ahli warisnya.
Kedua, hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata :

“ Rasulullah Saw bersabda, “ Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya, maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)

Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-‘aqid) mengesankan putusnya hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.
Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat, akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali kepada pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut keturunan hibah itu tidak kembali.[5]
2.5  HUKUM HIBAH

A.  HUKUM HIBAH
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (pene rima hibah) tanpa adanya pengganti.

B.  SIFAT HUKUM HIBAH
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demIkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah :

“ Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)

Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dalam hukumnya makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang pembeli.
Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang al-Wahib mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu :

1. Penerima memberikan ganti ;
a)   pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah   menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b)   pengganti yang diakhirkan.

2. Penerima maknawi ;
a)   pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b)   pemberian dalam rangka silaturahmi.
c)   pemberian dalam hubungan suami istri.

3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang diberi hibah)

4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.

5. Salah seorang yang akad meninggal.

6. Barang yang dihibahkan rusak.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”
C.  HUKUM PENCABUTAN HIBAH
Apabila sempurna sesuatu akad hibah dengan memenuhi rukun dan syaratnya serta berlaku penyerahan dan penerimaan barang (al-qabd), maka harta itu menjadi milik penerima hibah sekalipun tanpa balasan (‘iwad). Namun demikian, adakah hibah berkenaan boleh ditarik balik selepas itu menjadi perselisihan di kalangan fuqaha’ seperti berikut:
1.Pendapat ulama tentang pencabutan hibah
Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.
Ahmad dan fuqaha zhahiri  berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk memperolah keridaan Allah swt.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa hadist. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi saw :

“Orang yang mencabut kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sementara fuqaha yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda Nabi saw :

“Tidak halal bagi orang yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah.” (HR. Bukhari dan Nasai)

2.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang milik bersama
Fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik bersama yang tidak bisa dibagi. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu Tsaur bahwa hibah seperti ini sah, sedang menurut Abu Hanifah tidak sah. Fuqaha yang berpegangan bahwa penerimaan hak milik bersama itu sah seperti penerimaan jual beli, sementara Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan hibah itu tidak sah kecuali secara terpisah dan tersendiri seperti halnya gadai.

3.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang yang tidak (belum) ada
Menurut mazhab Malik bahwa menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul) dan barang yang tidak (belum) ada (ma’dum), tetapi dapat diperkirakan akan ada itu boleh. Menurut Syafi’i, setiap barang yang boleh dijual boleh pula dihibahkan seperti piutang. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, juga setiap barang yang tidak sah diterima tidak sah pula dihibahkan seperti piutang dan gadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar