2. HIBAH
2.1 PENGERTIAN HIBAH
Pengertian hibah menurut bahasa. Kata hibah adalah bentuk mashdar dari
kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya
sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan
jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi terdapat dalam
(QS. Ali Imran(3) :8, Maryam(19) :5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar
kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian.
Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini
merupakan mashdar dari kata wahaba yang
berarti pemberian.
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang
lain.
Menurut istilah, pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang
berbeda-beda, di antaranya:
Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah
sebagai: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika
masih hidup dan dilakukan secara sukarela".
Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang
lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari
pemberi kepada orang yang diberi.
Abd al-Rahman al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba
’ah, menghimpun empat pengertian hibah dari empat mazhab,
yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda
dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki
yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang
diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat
menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara
sadar sewaktu hidup.
Pengertian hibah yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan mazhab
Hambali:
Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang
yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu
tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya
dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan
maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan
tanpa imbalan.
Pengertian hibah dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, bahwa
hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya
dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Zainuddin Ibn Abd Aziz
al-Malîbary, bahwa pengertian hibah adalah memberikan suatu barang yang
pada galibnya sah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru,
dengan tanpa ada penukarannya.
Beberapa pengertian hibah tersebut, disimpulkan mengandung makna pemberian
harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun,
kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik
seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan
penggantian sedikitpun.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan
antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fikih (Imam Syafi'i,
Maliki) sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunnah berdasarkan firman
Allah dalam surat an-Nisa, (4) : 4
2.2 SYARAT-SYARAT
HIBAH
Syarat hibah menurut
ulama Hanabilah ada 11 :
1. Hibah dari
harta yang boleh di tasharrufkan
2. Terpilih dan
sungguh-sungguh
3. Harta yang
diperjualbelikan
4. Tanpa adanya
pengganti
5. Orang yang sah
memilikinya
6. Sah
menerimanya
7. Walinya
sebelum pemberi dipandang cukup waktu
8. Menyempurnakan
pemberian
9. Tidak disertai
syarat waktu
10. Pemberi sudah
dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)
11.
Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.
2.3 RUKUN HIBAH
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya
termasuk akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun
hibah ada empat :
1. pemberi hibah (al-Wahib)
2. penerima hibah
(al-Mauhud lahu)
3. barang atau
harta yang dihibahkan (Mauhud)
4. Ijab dan
qabul
1) Pemberi hibah (al-Wahib)
Pemberi hibah hendaklah seorang yang berkeahlian
seperti sempurna akal, baligh dan
rushd. Pemberi
hibah mestilah tuan punya barang yang dihibahkan. Oleh kerana pemilik
harta mempunyai
kuasa penuh ke atas hartanya, hibah boleh dibuat tanpa had kadar serta
kepada sesiapa
yang disukainya termasuk kepada orang bukan Islam, asalkan maksudnya
tidak melanggar
hukum syarak.
2) Penerima hibah (al-Mauhub lahu)
Penerima hibah boleh terdiri daripada sesiapa
sahaja asalkan dia mempunyai keupayaan
memiliki harta
sama ada mukallaf atau bukan mukallaf. Sekiranya penerima hibah bukan
mukallaf
seperti masih belum akil baligh atau kurang upaya, hibah boleh diberikan kepada
walinya atau
pemegang amanah bagi pihaknya. Penerima hibah mestilah menerima harta
yang dihibahkan
dan berkuasa memegangnya. Dengan kata lain, penguasaan dan kawalan
terhadap harta
mestilah diberikan kepada penerima hibah.
3) Barang atau harta yang dihibahkan (al-Mauhub)
Barang atau harta yang hendak dihibahkan
itu perlu memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Ia hendaklah barang atau harta yang halal.
b. Ia hendaklah sejenis barang atau harta
mempunyai nilai di sisi syarak.
c. Barang atau harta itu milik pemberi hibah.
d. Ia boleh diserah milikkan.
e. Ia benar-benar wujud semasa dihibahkan.
Contohnya, tidak sah hibah barang yang belum ada seperti menghibahkan anak lembu yang masih
dalam kandungan atau hibah hasil padi tahun hadapan sedangkan masih belum
berbuah dan sebagainya.
f. Harta itu tidak bersambung dengan harta
pemberi hibah yang tidak boleh dipisahkan
seperti
pokok-pokok, tanaman dan bangunan yang tidak termasuk tanah. Mengikut
mazhab Maliki,
Syafie dan Hanbali, hibah terhadap harta yang berkongsi yang tidak
boleh
dibahagikan adalah sah hukumnya. Dalam Islam, barang yang masih bercagar
(seperti rumah)
boleh dihibahkan jika mendapat keizinan dari penggadai atau
peminjam.
4) Sighah iaitu ijab dan kabul
Sighah hibah merupakan lafaz atau perbuatan
yang membawa makna pemberian dan
penerimaan
hibah. Ia tertakluk kepada syarat-syarat berikut:
a.
Ada
persambungan dan persamaan di antara ijab dan qabul.
b.
Tidak dikenakan
syarat-syarat tertentu.
c.
Tidak
disyaratkan dengan tempoh masa tertentu. Hibah yang disyaratkan dengan
tempoh tertentu
seperti yang berlaku dalam al-‘umra dan al-ruqba adalah sah hukumnya tetapi
syarat tersebut adalah terbatal.
Di antara
contoh lafaz ijab secara terang (sarih) ialah seperti kata pemberi “Aku berikan barang ini
kepadamu” atau secara kinayah seperti kata pemberi “Aku telah menyerahkan hakmilik
kepadamu” atau “Aku jadikan barang ini untukmu”. Sementara contoh lafaz qabul (penerimaan)
pula ialah seperti “aku terima”, “aku redha” dan sebagainya.
Dalam undang-undang Islam, sesuatu hibah itu
sudah sah dengan adanya ijab dan qabul
dengan
perkataan atau apa-apa cara yang membawa erti memberi milik harta tanpa balasan
(‘iwad). Mengikut mazhab Maliki dan Syafi’i,
penerimaan (qabul) itu hendaklah diambilkira
dalam
menentukan sah atau tidaknya sesuatu hibah. Sebaliknya, golongan Hanafi
menganggap
bahawa ijab sahaja sudah memadai untuk menentukan sahnya sesuatu hibah
itu.
2.4 MACAM-MACAM
HIBAH
1) Hibah barang
2) Hibah
manfaat
Di antara hibah manfaat
adalah hibah hibah bertempo (muajjalah), pinjaman (‘ariyyah), dan
pemberian (minhah). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya
selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri hibah seumur
hidup (umri), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada
orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para
ulama dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali.
Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya
(ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah,
ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja.
Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali
kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik
dan para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan
sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali
kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata “barang ini, selama umurku masih ada,
untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi
hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka
sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada
pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud
dan Abu Tsaur.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadist yang berbeda dan
pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal
ini, ada dua hal:
Pertama, hadist yang
disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa
Rasulullah Saw bersabda :
“ Siapa saja yang
memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka
hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada
orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan Nasai)
Ketentuan tegas ini karena orang tersebut memberi suatu pemberian kepada
seseorang sekaligus kepada ahli warisnya.
Kedua, hadis Abu Zubair dari
Jabir r.a. ia berkata :
“ Rasulullah Saw
bersabda, “ Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian
berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya,
maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan
sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)
Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan
persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari
Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah
seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih
sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-‘aqid) mengesankan putusnya
hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.
Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat,
akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha
yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik.
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali kepada
pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut
keturunan hibah itu tidak kembali.[5]
2.5 HUKUM HIBAH
A.
HUKUM HIBAH
Dasar dan ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi
mauhublah (pene rima hibah) tanpa adanya pengganti.
B.
SIFAT HUKUM HIBAH
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak
lazim. Dengan demIkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan
dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah :
“ Pemberi hibah lebih
berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni)
Dengan demikian,
dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dalam
hukumnya makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain
itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual
beli setelah barang dipegang pembeli.
Ulama hanafiyah
berpendapat ada 6 perkara yang melarang al-Wahib mengembalikan barang
yang telah dihibahkan, yaitu :
1. Penerima memberikan
ganti ;
a) pemberi
yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah
menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.
b)
pengganti yang diakhirkan.
2. Penerima maknawi ;
a) pahala
dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.
b) pemberian
dalam rangka silaturahmi.
c)
pemberian dalam hubungan suami istri.
3. Tambahan yang ada
pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang
diberi hibah)
4. Barang yang telah
keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.
5. Salah seorang yang
akad meninggal.
6. Barang yang
dihibahkan rusak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika
sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada
anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti
nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.
Ulama Hanabilah
dan Syafi’iyah berpendapt bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali
pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :
“Orang yang meminta
kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”
C.
HUKUM PENCABUTAN HIBAH
Apabila sempurna sesuatu akad hibah dengan memenuhi rukun
dan syaratnya serta berlaku penyerahan dan penerimaan barang (al-qabd), maka
harta itu menjadi milik penerima hibah sekalipun tanpa balasan (‘iwad). Namun
demikian, adakah hibah berkenaan boleh ditarik balik selepas itu menjadi
perselisihan di kalangan fuqaha’ seperti berikut:
1.Pendapat ulama tentang pencabutan hibah
Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik
dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali
pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum
membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang
telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik
bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.
Ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh
mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu
Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang
telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh
dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh
mencabut kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk
memperolah keridaan Allah swt.
Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa
hadist. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan
dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi saw :
“Orang yang mencabut
kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sementara fuqaha yang
mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda
Nabi saw :
“Tidak halal bagi orang
yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah.” (HR. Bukhari dan
Nasai)
2.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang milik
bersama
Fuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik
bersama yang tidak bisa dibagi. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu
Tsaur bahwa hibah seperti ini sah, sedang menurut Abu Hanifah tidak
sah. Fuqaha yang berpegangan bahwa penerimaan hak milik bersama itu sah seperti
penerimaan jual beli, sementara Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan hibah
itu tidak sah kecuali secara terpisah dan tersendiri seperti halnya gadai.
3.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang yang
tidak (belum) ada
Menurut mazhab Malik bahwa menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul)
dan barang yang tidak (belum) ada (ma’dum), tetapi dapat
diperkirakan akan ada itu boleh. Menurut Syafi’i, setiap barang
yang boleh dijual boleh pula dihibahkan seperti piutang. Dan setiap barang yang
tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, juga setiap barang yang tidak sah
diterima tidak sah pula dihibahkan seperti piutang dan gadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar